Senin, 31 Januari 2011

Arti Kehidupan


Pada suatu ketika ada seorang musafir yang melakukan pengembaraan. Ia melalui gurun sahara yang luas serta terkenal sangat tandus dan gersang. Musafir itu membawa perbekalan yang dirasanya cukup banyak sebagai sebuah persiapan mengarungi gurun tersebut.

Namun, ternyata bekal yang dimilikinya habis hanya dalam beberapa hari perjalanan, padahal ia melihat bahwa ujung gurun tersebut belum jua ia lalui. Ia pun mulai mencari sumber air sebagai pelepas dahaga yang kian melilit tenggorokannya, tapi tak ada air yang ia temukan, ia hanya melihat kilatan pasir serupa air akibat tertimpa cahaya matahari.

Sang musafir semakin merasakan kepayahan yang teramat sangat, belum lagi, kini tidak hanya dahaga, perutnya pun terus bergejolak karena lapar, matanya mulai berkunang-kungang, dan tenaganya kiat melemah.

Sang musafir berharap bahwa akan ada orang yang datang atau ada sesuatu hal yang bisa ia temukan untuk menghilangkan penderitaannya. Ketika sang musafir sudah mulai tak sanggup untuk bertahan, ia melihat dari kejauhan sebuah tas besar. Ia pun dengan tenaga yang tersisa mencoba untuk meraihnya.

Kali ini memang bukan fatamorgana, itu adalah tas yang ada isinya. Sang musafir tidak langsung membukanya, ia memeluknya, dan sangat bahagia, beberapa saat ia melupakan rasa dahaga dan laparnya, begitu pun tenaganya seakan terisi kembali. Dibayangan sang musafir, tas itu berisikan beberapa potong roti, serta tempat air yang tentunya berisikan air meksi beberapa tetes saja.

Tak lama, ia pun membuka tas tersebut. Pucuk dicinta ulam tak tiba, ia seketika mempendarkan wajah kecewa. Dibuangnya tas itu. Sang musafir berucap : “Aku tidak membutuhkan hal itu!” dengan suara yang kian habis, dengan linangan airmata ia berujar, “Aku hanya butuh sepotong roti dan segelas air untuk hari ini, aku tidak butuh batangan emas, dan kepingan perak…”

[ ... ]

semoga ada faedah yang bisa diambil

Minggu, 23 Januari 2011

Maksiat Akan menggelapkan Hati




Ayat yang patut jadi renungan adalah firman Allah Ta’ala,

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14)

Makna ayat di atas diterangkan dalam hadits berikut :

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan "ar raan" yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.”[1]

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah dosa di atas tumpukan dosa sehingga bisa membuat hati itu gelap dan lama kelamaan pun mati.” Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, Qotadah, Ibnu Zaid dan selainnya.[2]

Mujahid rahimahullah mengatakan, “Hati itu seperti telapak tangan. Awalnya ia dalam keadaan terbuka dan jika berbuat dosa, maka telapak tangan tersebut akan tergenggam. Jika berbuat dosa, maka jari-jemari perlahan-lahan akan menutup telapak tangan tersebut. Jika ia berbuat dosa lagi, maka jari lainnya akan menutup telapak tangan tadi. Akhirnya seluruh telapak tangan tadi tertutupi oleh jari-jemari.”[3]
Penulis Al Jalalain rahimahumallah menafsirkan, “Hati mereka tertutupi oleh “ar raan” seperti karat karena maksiat yang mereka perbuat.”[4]

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan perkataan Hudzaifah dalam fatawanya. Hudzaifah berkata, “Iman membuat hati nampak putih bersih. Jika seorang hamba bertambah imannya, hatinya akan semakin putih. Jika kalian membelah hati orang beriman, kalian akan melihatnya putih bercahaya. Sedangkan kemunafikan membuat hati tampak hitam kelam. Jika seorang hamba bertambah kemunafikannya, hatinya pun akan semakin gelap. Jika kalian membelah hati orang munafik, maka kalian akan melihatnya hitam mencekam.”[5]

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Jika dosa semakin bertambah, maka itu akan menutupi hati pemiliknya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan mengenai surat Al Muthoffifin ayat 14, “Yang dimaksud adalah dosa yang menumpuk di atas dosa.”[6]

Senin, 03 Januari 2011

Love Of ALLAH by Ibnul Qayyim Al Jawziyyah


The love of the Beloved
must be unconditionally returned.

If you claim love
yet oppose the Beloved,
then your love is but a pretence.
You love the enemies of your Beloved
and still seek love in return.

You fight the beloved of your Beloved.

Is this Love or the following of shaytaan?

True devotion is nothing
but total submission
of body and soul
to One Love.

We have seen humans claim to submit,
yet their loyalties are many.

They put their trust here, and their hope there,
and their love is without consequence.